Rabu, 01 Juli 2009

Kondisi PerFilman Indonesia

FIlm merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya.

Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film.

Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film nasional sekitar 70 - 100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop.
Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang.

Penurunan jumlah film maupun penonton di Indonesia sudah memprihatinkan. Jumlah penonton dalam skala nasional tahun 1977/78 - 1987/88 tercatat 937.700.000 penonton dan hingga tahun 1992 menurun sekitar 50 persen. Bahkan di Jakarta dari rata-rata 100.000 - 150.000 penonton, turun menjadi 77.665 penonton tahun 1991. Demikian juga dengan jumlah film, dari rata-rata 75 - 100 film pertahun, tahun 1991 / 92 menurun lebih daripada 50 % tahun 1993 surat izin produksi yang di keluarkan Deppen RI, sampai bulan Mei baru tercatat 8 buah film nasional untuk diproduksi.

Mengapa mereka menonton film Indonesia ?

Daya tarik utama mereka menonton film Indonesia karena
Mengetahui tema, cerita, jenis film seperti terlihat dalam poster dan iklan (60%).
Tertarik pada bintang utamanya (26%)
Resensi film di surat kabar dan majalah hanya 10 % dan inipun kebanyakan dari yang berusia 20 - 25 tahun.


Penggemar film di Indonesia:

Kelompok 1.
Cenderung memilih mutu film sebab menonton film bukan sekedar mencari hiburan tapi menikmati karya seni film dalam arti yang lebih luas.

Kelompok 2.
Cenderung mengikuti arus. Pertimbangan mutu film tetap merupakan referensi bagi mereka.

Kelompok 3.
Tidak terlalu memilih, sekedar mencari hiburan saja.
Penonton Film Indonesia.

Berdasarkan angket penonton tahun 1988 dan 1989 yang dilakukan di Bandung, penonton film Indonesia adalah sebagian besar berusia antara 15 - 35 tahun (90%) dengan tekanan usia pada 20 - 25 tahun (40%), lelaki (57%) dan wanita (43%) yang berpendidikan SMA dan perguruan tinggi sebanyak 42% sedangkan 50% mengaku abstain. Mereka ini mengaku menonton film Indonesia lebih dari sekali selama sebulan (59%) dan ada 12% yang menonton lebih dari 5 kali dalam sebulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar