Rabu, 01 Juli 2009

Ada Apa dengan Film Nasional..


Jakarta (ANTARA News) - Pepatah "roda kehidupan selalu berputar" agaknya layak digunakan untuk menggambarkan nasib perfilman nasional yang naik turun sejak film pertama pertama, "Loetoeng Kasaroeng," diproduksi pada 1926.

Dari data Perpustakaan Nasional, produksi perfilman di Indonesia mencapai puncaknya pada era 80-an. Pada 1988 saja, jumlah film yang diproduksi mencapai 83 judul atau naik 56 persen dari tahun 1987 dengan 53 judul film.

Meningkatnya produksi film nasional membuat pemerintah menurunkan kuota film asing untuk memberi kesempatan lebih besar kepada perfilman nasional guna berkembang, sementara untuk mengaapresiasi kualitasanya, diadakan Festival Film Indonesia (FFI) pada 1955.

FFI sempat terhenti beberapa kali seiring menurunnya produksi film nasional dan dilanjutkan lagi 1973, namun kemudian macet kembali pada 1992.

Perfilman nasional naik lagi saat film "Kuldesak" karya Riri Riza, Rizal Mantovani dan Mira Lesmana yang ditayangkan tahun 1999 mendapat respon luas dari pasar.

Setelah itu muncul karya-karya "pencerahan" seperti "Petualangan Sherina", "Jelangkung", "Ada Apa Dengan Cinta" dan "Ayat Ayat Cinta".

Membaiknya kondisi itu mendorong pelaku perfilman menghidupkan lagi FFI pada 2004 hingga terjadi "kecelakaan sejarah" saat beberapa Piala Citra dikembalikan para insan film.

Di tengah kondisi membaik ini, sejumlah kalangan mengkritik rendahnya kualitas film nasional. Oleh karena itu, meski jumlahnya bertambah, film nasional tidak berdaya bersaing menghadapi film-film asing. Ada apa dengan film nasional?


Latah dan instan

Banyak faktor yang membuat film nasional kurang berkualitas, diantaranya, mengutip sineas nasional kawakan Slamet Rahardjo Djarot dan Garin Nugroho, adalah latah dan pola pikir instan dari para pembuat film.

Slamet Rahardjo menilai, pelaku perfilman nasional belakangan ini hanya mau memproduksi tayangan yang sedang laku dengan enggan menggali ide-ide baru yang lebih disukai atau menarik untuk ditayangkan.

Mereka hanya melihat produk yang sedang laku di pasar, lalu memproduksi jenis serupa dengan harapan laku juga.

"Kalau satu bikin sandal dan ternyata laku, semua ikut-ikutan bikin sandal. Itu pemikiran orang latah," kata mantan Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) itu.

Ia menjelaskan, tren latah itu terdilihat dari jenis produksi film yang hampir seragam dan hanya memenuhi tuntutan pasar. Contohnya, saat sebuah perusahaan film berhasil menjual tema setan, maka yang lain ikut memproduksi film bergenre serupa.

Ini juga berlaku ketika sebuah perusahaan berhasil memproduksi film bertema religius. "Akibatnya, hampir semua film yang diproduksi bergaya kearab-araban," kata aktor kelahiran Serang, 21 Januari 1949 itu.

Kondisi itu juga membuktikan bahwa membuat film berkualitas itu sulit karena idengnya sangat mahal dan langka, sehingga pelaku perfilman mencari aman dengan hanyaa mengikuti tren saja.

Sementara sutradara kawakan Garin Nugroho menilai kualitas rendah film nasional karena kalangan sineas atau pelaku perfilman nasional sering berpikir instan. Mereka hanya berpikir bagaimana film bisa meledak di pasar, bukan menekankan kualitas produk tontonan.

Menurut Garin, belakangan ini sineas nasional tidak mau bersusah payah dalam berkarya karena ingin buru-buru mendapatkan hasil. Akibatnya, film yang dihasilkan hanya untuk bisnis dan keuntungan semata.

Hasil pola pikir instan itu membuat ketertarikan masyarakat pada film nasional menipis, meskipun jumlah film yang diproduksi bertambah.

Itu juga terjadi karena kurang profesionalnya penggarapan dan tema yang itu-itu saja. "Kalau tidak horor, ya komedi seksual," kata Garin.

Kualitas film nasional yang rendah ini membuat penyeleksi film internasional pun enggan mengikutkan film Indonesia dalam festival tingkat dunia.

"Buktinya, tidak ada satu pun film nasional yang layak diikutsertakan dalam festival internasional," kata Garin.

Garin mengelaborasi lebih jauh dengan menyebut pula faktor sulitnya mendapatkan pemain film yang berbobot yang mampu membuat penonton hanyut dalam peran yang seorang aktor atau aktris.

Meski secara fisik menarik, tetapi hanya sedikit pemain film yang memiliki kemampuan akting yang andal.

"Dari sekian banyak aktor dan aktris nasional, paling hanya tiga sampai lima orang yang bagus," ungkapnya.

Namun, baik Garin maupun Slamet Rahardjo tak mau menimpakan kurang berkualitasnya film nasional ini kepada sineas, karena wadah untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai dunia perfilman pun terbatas jumlahnya. Slamet bahkan menyebut wadah itu hanya satu, yaitu Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

"Yang lain hanya tempelan-tempelan di universitas saja," katanya.


Batasi

Pelaku perfilman nasional masih menganggap film hanya hiburan untuk mendatangkan keuntungan bisnis semata.

"Masih sangat sedikit perfilman yang memberikan pesan moral yang baik terhadap masyarakat," kata bintang "November 1828" ini.

Slamet mengaku tidak alergi dengan motif mencari untung, namun pelaku film seharusnya tidak melepaskan tanggung jawab moralnya dalam memenuhi tuntutan masyarakat bahwa harus ada "pelajaran moral" dari aktor dan aktris idola mereka.

"Kebahagiaan sesaat dari bisnis perfilman itu tidak akan bermanfaat apa-apa," tandas Slamet.

Selain introspeksi ke dalam, sebagaimana dilakukan pada 1988, pemerintah juga perlu memberlakukan kembali kebijakan pembatasan film asing di Indonesia.

"Pelaku perfilman nasional membutuhkan fair market (pasar yang adil), bukan free market (pasar bebas)," kata Slamet Rahardjo.

Industri perfilman nasional tak mampu bersaing dengan karya Hollywood yang kaya pengetahuan dan dana sehingga bisa membayar bintang-bintang hebat seperti Julia Roberts, Nicole Kidman, Richard Gere, dan Tom Cruise.

"Gaji Nicole Kidman saja tujuh kali lipat dari biaya produksi satu film nasional," katanya.

Konsep "free market" yang saat ini diterapkan pemerintah bisa menghimpit industri film nasional karena perbedaan mencolok dalam segala hal dengan industri film serupa di luar negeri.

Slamet Rahardjo mengumpamakan keadaan ini dengan laga Ellyas Pical melawan Mike Tyson.

"Sama-sama hebat tapi kelasnya beda. Jika dilawan, sama dengan bunuh diri," katanya.

Slamet Rahardjo sangat mengharapkan pemerintah sungguh-sungguh memperhatikan perfilman nasional, melalui kebijakan yang dibicarakan terlebih dulu dengan para sineas Indonesia. (*)

5 komentar:

  1. w suka kok io film indonesia..palagi yang ada adegan nangis2nya...

    BalasHapus
  2. perfilman indonesia psti bisa lebih baek,,
    gw percaya itu,,

    visit my blog at
    http://miko18.blogspot.com
    leave a coment
    thnks

    BalasHapus
  3. teruskan proyek kita,,
    sbagai bukti film nasional lebih bermutu dr film luar,,

    BalasHapus
  4. film Indonesia sering mengecewakan.
    bikin sebel.

    BalasHapus