Rabu, 01 Juli 2009

Ada Apa dengan Film Nasional..


Jakarta (ANTARA News) - Pepatah "roda kehidupan selalu berputar" agaknya layak digunakan untuk menggambarkan nasib perfilman nasional yang naik turun sejak film pertama pertama, "Loetoeng Kasaroeng," diproduksi pada 1926.

Dari data Perpustakaan Nasional, produksi perfilman di Indonesia mencapai puncaknya pada era 80-an. Pada 1988 saja, jumlah film yang diproduksi mencapai 83 judul atau naik 56 persen dari tahun 1987 dengan 53 judul film.

Meningkatnya produksi film nasional membuat pemerintah menurunkan kuota film asing untuk memberi kesempatan lebih besar kepada perfilman nasional guna berkembang, sementara untuk mengaapresiasi kualitasanya, diadakan Festival Film Indonesia (FFI) pada 1955.

FFI sempat terhenti beberapa kali seiring menurunnya produksi film nasional dan dilanjutkan lagi 1973, namun kemudian macet kembali pada 1992.

Perfilman nasional naik lagi saat film "Kuldesak" karya Riri Riza, Rizal Mantovani dan Mira Lesmana yang ditayangkan tahun 1999 mendapat respon luas dari pasar.

Setelah itu muncul karya-karya "pencerahan" seperti "Petualangan Sherina", "Jelangkung", "Ada Apa Dengan Cinta" dan "Ayat Ayat Cinta".

Membaiknya kondisi itu mendorong pelaku perfilman menghidupkan lagi FFI pada 2004 hingga terjadi "kecelakaan sejarah" saat beberapa Piala Citra dikembalikan para insan film.

Di tengah kondisi membaik ini, sejumlah kalangan mengkritik rendahnya kualitas film nasional. Oleh karena itu, meski jumlahnya bertambah, film nasional tidak berdaya bersaing menghadapi film-film asing. Ada apa dengan film nasional?


Latah dan instan

Banyak faktor yang membuat film nasional kurang berkualitas, diantaranya, mengutip sineas nasional kawakan Slamet Rahardjo Djarot dan Garin Nugroho, adalah latah dan pola pikir instan dari para pembuat film.

Slamet Rahardjo menilai, pelaku perfilman nasional belakangan ini hanya mau memproduksi tayangan yang sedang laku dengan enggan menggali ide-ide baru yang lebih disukai atau menarik untuk ditayangkan.

Mereka hanya melihat produk yang sedang laku di pasar, lalu memproduksi jenis serupa dengan harapan laku juga.

"Kalau satu bikin sandal dan ternyata laku, semua ikut-ikutan bikin sandal. Itu pemikiran orang latah," kata mantan Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) itu.

Ia menjelaskan, tren latah itu terdilihat dari jenis produksi film yang hampir seragam dan hanya memenuhi tuntutan pasar. Contohnya, saat sebuah perusahaan film berhasil menjual tema setan, maka yang lain ikut memproduksi film bergenre serupa.

Ini juga berlaku ketika sebuah perusahaan berhasil memproduksi film bertema religius. "Akibatnya, hampir semua film yang diproduksi bergaya kearab-araban," kata aktor kelahiran Serang, 21 Januari 1949 itu.

Kondisi itu juga membuktikan bahwa membuat film berkualitas itu sulit karena idengnya sangat mahal dan langka, sehingga pelaku perfilman mencari aman dengan hanyaa mengikuti tren saja.

Sementara sutradara kawakan Garin Nugroho menilai kualitas rendah film nasional karena kalangan sineas atau pelaku perfilman nasional sering berpikir instan. Mereka hanya berpikir bagaimana film bisa meledak di pasar, bukan menekankan kualitas produk tontonan.

Menurut Garin, belakangan ini sineas nasional tidak mau bersusah payah dalam berkarya karena ingin buru-buru mendapatkan hasil. Akibatnya, film yang dihasilkan hanya untuk bisnis dan keuntungan semata.

Hasil pola pikir instan itu membuat ketertarikan masyarakat pada film nasional menipis, meskipun jumlah film yang diproduksi bertambah.

Itu juga terjadi karena kurang profesionalnya penggarapan dan tema yang itu-itu saja. "Kalau tidak horor, ya komedi seksual," kata Garin.

Kualitas film nasional yang rendah ini membuat penyeleksi film internasional pun enggan mengikutkan film Indonesia dalam festival tingkat dunia.

"Buktinya, tidak ada satu pun film nasional yang layak diikutsertakan dalam festival internasional," kata Garin.

Garin mengelaborasi lebih jauh dengan menyebut pula faktor sulitnya mendapatkan pemain film yang berbobot yang mampu membuat penonton hanyut dalam peran yang seorang aktor atau aktris.

Meski secara fisik menarik, tetapi hanya sedikit pemain film yang memiliki kemampuan akting yang andal.

"Dari sekian banyak aktor dan aktris nasional, paling hanya tiga sampai lima orang yang bagus," ungkapnya.

Namun, baik Garin maupun Slamet Rahardjo tak mau menimpakan kurang berkualitasnya film nasional ini kepada sineas, karena wadah untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai dunia perfilman pun terbatas jumlahnya. Slamet bahkan menyebut wadah itu hanya satu, yaitu Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

"Yang lain hanya tempelan-tempelan di universitas saja," katanya.


Batasi

Pelaku perfilman nasional masih menganggap film hanya hiburan untuk mendatangkan keuntungan bisnis semata.

"Masih sangat sedikit perfilman yang memberikan pesan moral yang baik terhadap masyarakat," kata bintang "November 1828" ini.

Slamet mengaku tidak alergi dengan motif mencari untung, namun pelaku film seharusnya tidak melepaskan tanggung jawab moralnya dalam memenuhi tuntutan masyarakat bahwa harus ada "pelajaran moral" dari aktor dan aktris idola mereka.

"Kebahagiaan sesaat dari bisnis perfilman itu tidak akan bermanfaat apa-apa," tandas Slamet.

Selain introspeksi ke dalam, sebagaimana dilakukan pada 1988, pemerintah juga perlu memberlakukan kembali kebijakan pembatasan film asing di Indonesia.

"Pelaku perfilman nasional membutuhkan fair market (pasar yang adil), bukan free market (pasar bebas)," kata Slamet Rahardjo.

Industri perfilman nasional tak mampu bersaing dengan karya Hollywood yang kaya pengetahuan dan dana sehingga bisa membayar bintang-bintang hebat seperti Julia Roberts, Nicole Kidman, Richard Gere, dan Tom Cruise.

"Gaji Nicole Kidman saja tujuh kali lipat dari biaya produksi satu film nasional," katanya.

Konsep "free market" yang saat ini diterapkan pemerintah bisa menghimpit industri film nasional karena perbedaan mencolok dalam segala hal dengan industri film serupa di luar negeri.

Slamet Rahardjo mengumpamakan keadaan ini dengan laga Ellyas Pical melawan Mike Tyson.

"Sama-sama hebat tapi kelasnya beda. Jika dilawan, sama dengan bunuh diri," katanya.

Slamet Rahardjo sangat mengharapkan pemerintah sungguh-sungguh memperhatikan perfilman nasional, melalui kebijakan yang dibicarakan terlebih dulu dengan para sineas Indonesia. (*)

Para Pembuat Film Indie Hadapi Masa Tersulit


Park City, Utah (ANTARA News) - Setelah melewati tahun 2008 yang muram, prospek film independen diharapkan banyak orang menjadi lebih cerah tahun ini dengan mengandalkan rumah-rumah produksi independen, demikian para eksekutif film, Senin, dalam Festival Film Sundance, seperti dikutip Reuters.

Namun masa keemasan tampaknya masih jauh untuk dicapai, mungkin sampai 2010, dan peningkatan tidak akan muncul tanpa perubahan-perubahan seperti bayaran bintang yang lebih rendah dan biaya produksi serta pemasaran yang mesti diturunkan lagi.

Para eksekutif berharap distribusi melalui Internet dapat mengatasi melambatnya penjualan DVD, namun tetap ada ketidakpastian mengenai bagaimana mestinya menggunakan web untuk meluncurkan film-film atau bahkan demi mempromosikannya.

"Langit telah runtuh. Jatuhannya menimpa banyak hal," kata Mark Gill, Kepala Eksekutif dari pembuat film independen The Film Department, pada sebuah panel Sundance, perhelatan besar bagi para pembuat film independen AS yang diadakan di kota pegunungan timur Salt Lake City ini.

"Saya kira dalam 12 sampai 18 bulan produksi kami akan turun sampai sekitar 350 rilis yang akan memberi kami nafas," katanya.

Para anggota panel mencatat bahwa di minggu-minggu terakhir, film produksi independenyang sukses menjadi "box office" seperti film bertema kehidupan pria penyuka sesama jenis (gay) "Milk" (untung 20 juta dolar AS) dan cerita cinta dari India "Slumdog Miilionaire" (44 juta dolar AS) telah menunjukkan daya tarik yang sehat bagi para pembuat film bermutu yang selama ini disisihkan para produser Hollywood.

Kedua film ini masih diputar di bioskop-bioskop dan diperkirakan terus meningkat penjualan tiketnya. Film-film seperti romansa vampire dalam "Twilight" (185 juta dolar AS) yang juga dibuat secara independen, masih dapat bertahan di tangga box office.

"Box office bioskop sepertinya terus tumbuh, khususnya untuk sejumlah film indie," kata wakil pemimpin eksekutif Sony Pictures Classics, Michael Barker.

Sundance yang didirikan aktor Robert Redford dan berjalan selama 25 tahun terakhir, membantu dan mempromosikan para pembuat film independen. Darinya, para distributor film bisa membeli film-film murah yang kebanyakan menampilkan talenta-talenta baru.

Terpukul

Kembali ke sukses di masa lalu kepada fillm-film indie seperti film buatan 1989 dari Steven Soderbergh berjudul "sex, lies and videotape" dan di tahun-tahun setelahnya seperti film produksi tahun 2006 berjudul "Little Miss Sunshine."

Kesuksesan film-film itu menembus box office dan "booming" penjualan DVD telah menarik lebih banyak pembuat film indie pada 2000an dan hasilnya menjadi terlalu banyak film diputar di bioskop dan para produsen video.

Film komedi yang memenangkan penghargaan Sundance tahun lalu "Hamlet 2," telah dibeli oleh Focus Features seharga 10 juta dolar AS namun gagal di bioskop dengan hanya menangguk 5 juta dolar AS dari hasil penjualan tiket.

Tapi tetap saja, CEO Focus James Schamus mengatakan pada panel Sundance itu bahwa dia tidak menyesal karena dia percaya pada potensi film-film indie. "Saya akan membelinya lagi dan membayarnya dengan harga pantas."

Namun, keprihatian para eksekutif film tampak terlihat jelas sepanjang tahun 2008 dan pada minggu terakhir pembukaan festival film Sundance 2009.

"Dua tahun lalu di festival ini, lebih banyak film dijual di pasar ketimbang tahun manapun festival Sundance diadakan. Tahun lalu, jumlahnya berkurang dari 50 juta dolar AS (penjualan) menjadi kira-kira 20 juta dolar AS."

Sejauh ini, hanya film drama kriminal berjudul "Brooklyn's Finest" yang dibeli oleh Senator Entertainment dengan harga dibawah 5 juta dolar AS dan komedi "Black Dynamite" yang dibeli Sony Pictures Worldwide dengan 2 juta dolar AS, demikian laporan Daily Variety dan The Hollywood Reporter.

Film lainnya yang dibicarakan termasuk "Humpday," film komedi yang berkisah soal dua pria heteroseksual yang membuat film dewasa gay dan film dokumenter "The September Issue" yang bercerita mengenai editor majalah Vogue, Anna Wintour.

Krisis keuangan telah membuat para investor menarik diri dari pasar untuk tidak membiay film-film indie. "Hanya orang kaya dan muda yang masih mau membuat film dalam situasi ekonomi seperti sekarang," kata produser Ted Hope.

Produser lain seperti Wade Bradley yang mengepalai grup investasi film IndieVest, melihat keadaan akan berbalik.

"Iklim (pembuatan film) keras di sepanjang musim panas lalu, dan tampaknya akan jatuh lebih awal. Pada akhirnya, orang realistis dengan berkata, 'oke, inilah yang kita mesti perbuat untuk mengubah permainan,'" katanya. (*)

Fakta Unik : Sejarah Film Sepanjang Masa


Siapa sih yang tidak suka film? Pasti rata-rata dari kita paling tidak pernah menonton film. Entah itu film-film dari ranah Hollywood, Bollywood, hingga kelas film horor murahan Indonesia. Bahkan berkat kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat, kita orang awam pun mampu membuat film ala kadarnya hanya melalui handphone.

Mungkin fakta-fakta berikut ini bisa dijadikan informasi yang menarik bagaimana sebuah produk film memiliki sejarah yang cukup unik untuk disimak:
Sejarah film sebenarnya sama tuanya dengan penemuan perangkat fotografi. Namun tahukah kamu, sejarah gambar bergerak yang pertama muncul di dunia justru muncul bukan di Hollywood, namun lahir dari sebuah pertanyaan unik: Apakah keempat kaki kuda berada pada posisi melayang pada saat bersamaan ketika kuda berlari? Pertanyaan ini dijawab oleh Eadweard Muybridge dari Stanford University dengan membuat 16 gambar atau frame kuda yang sedang berlari. Kejadian ini terjadi pada tahun 1878. Dari ke-16 gambar kuda yang sedang berlari ini dirangkai dan digerakkan secara berurutan menghasilkan gambar bergerak pertama yang berhasil dibuat di dunia. Dari sinilah ide membuat sebuah film muncul. Karena pada saat itu teknologi kamera perekam belum ada, Muybridge menggunakan kamera foto biasa untuk menghasilkan gerakan lari kuda. Dengan kata lain, diperlukan pengambilan gambar beberapa kali agar memperoleh gerakan lari kuda yang sempurna saat difilmkan.
Sepuluh tahun setelah penemuan gambar bergerak (1888), barulah muncul film (bukan sekedar gambar bergerak) pertama di dunia, ya paling tidak mendekati konsep film-film yang sudah ada saat ini. Film ini dikenal dengan nama Roundhay Garden Scene yang di'sutradarai' oleh Louis Le Prince yang berasal dari Prancis. Film berdurasi sekitar 2 detik ini menggambarkan sejumlah anggota keluarga Le Prince sedang berjalan-jalan menikmati hari di taman. Setahun kemudian(1889), Amerika Serikat barulah memproduksi film pertamanya yang berjudul Monkeyshines No. 1. Seperti apa film Monkeyshines No.1? Gambar orang yang 'blur' dengan latar hitam yang sedang melakukan gerakan-gerakan tangan dalam beberapa detik.
Memproduksi sebuah film yang spektakuler (seperti yang dilakukan oleh kalangan sineas Hollywood) tentu saja membutuhkan biaya yang sangat besar. Contohnya, film Titanic yang harus membangun tiruan kapal Titanic itu sendiri. Film Titanic itu sendiri menghabiskan dana sebesar 200 juta dollar atau kalau kita rupiahkan bisa mencapai angka 2,5 triliun rupiah! Tapi itu masih belum seberapa lo...coba bandingkan dengan biaya pembuatan film Pirates of the Caribbean: At World's End yang mencapai angka 300 juta dollar atau sekitar hampir 4 triliun rupiah! Luar biasa... Namun, tahukah kamu, ada satu film yang bisa dianggap sebagai salah satu film termahal di dunia yang pernah diproduksi, dan film ini diproduksi pada tahun 1963. Itulah film Cleopatra yang diproduksi oleh 20th Century Fox . Awalnya film ini hanya diberi anggaran 2 Juta Dollar, namun entah mengapa membengkak hingga 44 juta dollar. Kondisi ini tentunya sangat memberatkan 20th Century Fox sehingga hampir membuatnya gulung tikar. Perlu diketahui bahwa angka 44 juta dolar ini adalah angka di tahun 1963, bila dikonversikan dengan tahun sekarang plus hitung-hitungan inflasi, angka tersebut sama dengan nilai 295 juta dollar di tahun 2007, dengan kata lain di tahun 2009 bisa menembus angka 300 juta dollar!
Tapi siapakah sebenarnya pemegang rekor film termahal di dunia? Ternyata film termahal yang pernah dibuat adalah film yang merupakan adaptasi dari novel dari Rusia, War and Peace yang ditulis oleh penulis terkenal Rusia Leo Tolstoy. Film yang dibuat pada tahun 1961 dan diproduseri oleh Mosfilm Studios milik USSR ini menghabiskan dana sebesar 100 juta dollar atau kalau dikonversi dengan inflasi dan segala macam, film ini berharga 700 juta dollar! Luar biasa...! Lalu apa yang membikin film ini menjadi sangat mahal? Ternyata ada sebuah adegan film perang yang harus mengerahkan pasukan sebanyak 120.000 tentara, dan itu adalah scene atau adegan perang terbesar yang pernah dibuat!

Latar Budaya Penonton Film di Indonesia

Film Indonesia sekarang ini adalah kelanjutan dari tradisi tontonan rakyat sejak masa tradisional, masa penjajahan sampai masa kemerdekaan ini. Untuk meningkatkan apresiasi penonton film Indonesia adalah menyempurnakan permainan trick-trick serealistis dan sehalus mungkin, seni akting yang lebih sungguh-sungguh, pembenahan struktur cerita, pembenahan setting budaya yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, penyuguhan gambar yang lebih estetis dsb.

Peningkatan mutu filmis dari genre-genre film nasional yang laris sekarang ini dapat meningkatkan daya apresiasi film bermutu di lingkungan penonton urban yang marginal ini, tetapi mungkin juga dapat ditonton oleh golongan penonton yang terpelajar dan intelektual.
Golongan Penonton Film Indonesia yang Lain.

Ketidakadilan produksi film nasional sekarang ini terletak pada pelayanannya yang hanya kepada penonton 'berbudaya daerah' semacam di atas. Dugaan sementara bahwa golongan terpelajar di Indonesia dipenuhi selera seni pertunjukannya oleh film-film impor yang kondisi atau referensi budayanya cukup baik diapresiasi oleh mereka. Namun kondisi semacam ini tidak dapat terus menerus dilakukan karena film-film impor tersebut jauh dari sejarah, mitos, kondisi dan masalah-masalah Indonesia sendiri.

Untuk membuat film bermutu yang laris di semua golongan penonton dengan latar belakang budaya mereka yang berbeda-beda adalah dengan memberi kesempatan kepada para sineas.

Kondisi PerFilman Indonesia

FIlm merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya.

Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film.

Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film nasional sekitar 70 - 100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop.
Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang.

Penurunan jumlah film maupun penonton di Indonesia sudah memprihatinkan. Jumlah penonton dalam skala nasional tahun 1977/78 - 1987/88 tercatat 937.700.000 penonton dan hingga tahun 1992 menurun sekitar 50 persen. Bahkan di Jakarta dari rata-rata 100.000 - 150.000 penonton, turun menjadi 77.665 penonton tahun 1991. Demikian juga dengan jumlah film, dari rata-rata 75 - 100 film pertahun, tahun 1991 / 92 menurun lebih daripada 50 % tahun 1993 surat izin produksi yang di keluarkan Deppen RI, sampai bulan Mei baru tercatat 8 buah film nasional untuk diproduksi.

Mengapa mereka menonton film Indonesia ?

Daya tarik utama mereka menonton film Indonesia karena
Mengetahui tema, cerita, jenis film seperti terlihat dalam poster dan iklan (60%).
Tertarik pada bintang utamanya (26%)
Resensi film di surat kabar dan majalah hanya 10 % dan inipun kebanyakan dari yang berusia 20 - 25 tahun.


Penggemar film di Indonesia:

Kelompok 1.
Cenderung memilih mutu film sebab menonton film bukan sekedar mencari hiburan tapi menikmati karya seni film dalam arti yang lebih luas.

Kelompok 2.
Cenderung mengikuti arus. Pertimbangan mutu film tetap merupakan referensi bagi mereka.

Kelompok 3.
Tidak terlalu memilih, sekedar mencari hiburan saja.
Penonton Film Indonesia.

Berdasarkan angket penonton tahun 1988 dan 1989 yang dilakukan di Bandung, penonton film Indonesia adalah sebagian besar berusia antara 15 - 35 tahun (90%) dengan tekanan usia pada 20 - 25 tahun (40%), lelaki (57%) dan wanita (43%) yang berpendidikan SMA dan perguruan tinggi sebanyak 42% sedangkan 50% mengaku abstain. Mereka ini mengaku menonton film Indonesia lebih dari sekali selama sebulan (59%) dan ada 12% yang menonton lebih dari 5 kali dalam sebulan.

Menjadi Sutradara yang Baik itu Gimana??


Tugas sutradara itu ibarat pencipta sesuatu yang nantinya akan divisualisasikan. dan tentu saja sutradara inilah yang menjadi dalang dalam proses penciptaan itu, di mana pada otak sutradara inilah karya tersebut akan diwujudkan.
gampangannya....si sutradara ini harus mempunyai gambaran, mau diwujudkan seperti apa karya tersebut.

kalau kriteria sutradara, pastinya dia harus paham betul apa yang ingin dia sampaikan dan paham betul tentang seluk beluk bidang yang dia geluti itu, bahkan masalah yang kecil sekalipun.

setahu saya ada dua macam sutradara.
1. sutradara yang menuntut pemainnya untuk memainkan peran sesuai konsepnya atau sesuai apa yang ada di otaknya.
misalnya dalam dunia peran, ketika salah satu pemainnya harus berperan sebagai pengemis, si sutradara itu menuntut pemainnya itu untuk menjadi pengemis sesuai dengan intepretasinya si sutradara ini, bahkan kalau perlu si sutradara ini harus memberi contoh seperti apa pengemis yang dia kehendaki itu.
kasarannya, sutradara ini adalah sutradara yang otoriter, dimana semuanya harus seperti yang ada di otaknya. namun keotoriterannya itu sangat wajar mengingat dialah yang menjadi sutradara (pencipta) dan pemainnya itu sebagai ciptaannya.

kelemahan pada jenis sutradara semacam ini adalah membatasi kreativitas si pemain, mengingat pemainnya adalah manusia juga yang pasti mempunyai daya imaji yang berbeda pula. dan perlu dicatat, kelemahan pada sutradara ini tidak berlaku pada sutradara yang pemainnya adalah benda mati (dalang dengan wayangnya), namun tetap berlaku pula ketika dalang ini berhadapan dengan pemain waranggononya.

namun sekali lagi keotoriteran si sutradara ini tidak bisa disalahkan, karena itu adalah hak dia, dan otomatis untuk para pemain yang berhadapan dengan sutradara semacam ini adalah adanya kesediaan dia untuk menjadi boneka yang mau dibentuk sebagai apapun, terserah si sutradara tersebut (meski dalam kenyataannya sangat sering ditemui kesulitan ketika para pemain ini harus menjadi seperti yang ada di otak si sutradara)

namun asalkan ada komunikasi yang baik antara si sutradara dan pemainnya, adanya kesadaran peran antara sutradara dan pemainnya dan adanya kesadaran si sutradara bahwa si pemain itu juga pastinya mempunyai kekurangan, semuanya bisa di atasi kok.

2. sutradara yang membebaskan para pemainnya untuk memvisualisasikan imajinasi si pemain, asalkan tidak bertentangan dengan isi konsep yang ada di otak sutradara.
dalam hal ini, sutradara memberi kesempatan kepada para pemainnya untuk 'mencari' sendiri jati diri peran mereka masing2 sesuai dengan apa yang mereka imajinasikan namun tetap dalam pantauan sang sutradara. ketika si sutradara melihat bahwa si pemain telah menemukan 'jiwa' yang akan diperankan, di sinilah sutradara memintanya untuk menyimpan 'jiwa' yang telah ditemukan tersebut untuk kemudian digali lebih dalam.

kelemahan dari jenis sutradara ini adalah adanya pandangan adanya kekurang tegasan pada sang sutradara. ada kesan bahwa sang sutradara ini melimpahkan tugas 'menciptakan' karya kepada para pemainnya untuk kemudian tugas dia hanya memilih mana yang pantas dilakukan mana yang tidak.

demikian pendapat saya, dan alangkah lengkapnyalah bila anda bisa menggabungkan kedua jenis sutradara tersebut, mempunyai ketegasan dalam mencutradarai namun tidak memenjarakan imajinasi dan daya kreasi para pemain.

Riset Dalam Film Dokumenter


Film dokumenter merupakan penemuan baru untuk mengatasi kegelisahan orang atas hilangnya pengalaman visual. Karena peristiwa berlalu dengan cepat maka orang sering membuat ikon atau tiruan dari kenangan tersebut, misalnya foto kekasih di dompet, meja, dsb.
Dalam kenyataannya selalu ada kesenjangan antar visual yang dibuat kamera dengan kondisi nyata. Sekarang menjadi bertambah kompleks, karena ada suara, warna, dll sehingga semakin tdak sesuai dengan realita. Kita melihat realita dengan sepotong-sepotong, misal melihat seseorang tdak bisa menyeluruh.

Dengan demikian imej visual sangat dibutuhkan . Foto dan film bisa membantu, tapi juga bisa mengganggu. Tampilan bisa melampaui kebutuhan kita. Kamera menampilkan apa yang tidak bisa kita tangkap. Mata biologis hanya melihat apa yg ingin kita lihat. Maka imej visual yang kemudian kita anggap sebagai dokumen -karena diperlakukan sebagai arsip dan disimpan sebagai data- melampui kebutuhan orang yang membuat film. Maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah : Apakah film dokumenter memenuhi kebutuhan obyektif suatu riset?

Bisa dikategorikan sebagai obyektif karena secara mekanik, digital dan sebagian chemic. Mata biologis pun mengambil obyek yang memang benar-benar kita butuhkan. Peristiwa ini kemudian diubah menjadi obyek penelitian. Penelitian itu sendiri tidak ada yang benar-benar obyektif. Lalu untuk apa riset ini?
Kalau hanya untuk kebutuhan filing system, maka penelitian hanya berhenti di lemari, tapi riset ini adalah riset transformasi. Riset perfilman menjadi bagian dari transformasi itu sendiri. Dari tayangan film orang dapat merefleksi dirinya sendiri sehingga ia dapat merubah dirinya sendiri. Jadi film bisa membentuk kenyataan. Ada dialektika antara film dengan kehidupan sehari-hari. Dalam konteks besar orang menyebutnya sebagai proses mediasi, dari citra visual, menjadi mediasi untuk membentuk realita.

Untuk membuat film dibutuhkan riset yg reflektif, tentang polah obyek, isu-isu yang berkembang, dsb. Riset dalam Film Dokumenter dianggap penting dalam penciptaan film dokumenter. Di Indonesia sendiri, pendanaan untuk riset film-film dokumenter dinilai masih sangat kurang. Dalam proses produksi film dokumenter, riset yang efektif dilakukan selama dua bulan. Hal ini berhubungan dengan pengalaman Garin Nugroho saat bekerjasama dengan NHK Jepang.

Dalam analisis terhadap hasil riset, banyak orang menganalisanya tanpa tahu jenis dokumenter apa yang akan dibuatnya. Riset sendiri bersifat kompleks karena harus mampu mengorganisir manajemen teknik, ide, lokasi dan lain-lain.
Untuk itu tim riset yang dibentuk harus komprehensif, bisa memadukan sebuah bentuk organisasi yang struktural dengan organisasi yang non struktural. Hal ini bisa menciptakan ide-ide yang �gila� dan tidak terduga. Dalam riset lapangan juga diperlukan orang yang memang benar-benar paham lokasi shooting. Seorang sutradara tidak mencari periset yang dekat dengan dirinya tetapi seorang periset yang mengerti kondisi lokasi. Dengan kata lain, baik periset maupun tim produksi sepenuhnya mengabdi pada film yang akan diproduksi.

Kelemahan dari pencipta film adalah mencari tim periset dengan ego pribadi. Ambisi pencipta fim adalah ambisi terhadap fim itu sendiri. Misal untuk membuat film yang berhubungan dengan kehidupan anak jalanan dibutuhkan pendamping-pendamping anak jalanan yang benar-benar mengerti kehidupan mereka. Pendamping pun ternyata berbeda-beda. Ada pendamping yang mengerti masalah psikologi anak, masalah penampilan, dsb. Jadi langkah awal yang perlu diperhatikan dalam membentuk tim riset adalah mengerti benar kegunaan atau jenis film tersebut sehingga tim yang terbentuk adalah tim yang tahu kegunaan film tersebut. Seringkali yang terjadi di langkah awal pembentukan tim riset ini adalah seorang pencipta film lebih mengutamakan egoismenya sehingga film itu sendiri tidak lagi menjadi masalah yang penting.

Riset itu sendiri memiliki bidang kerja yang berbeda-beda. Untuk melakukan riset terhadap subjek dan wilayah memerlukan berbagai macam disiplin ilmu, sosial, politik, sosiologi, dll. Misalnya membuat film tentang Papua, pencipta film harus tahu dimana saja wilayah konflik, suku apa saja yang mendiami tempat tersebut, bagaimana hubungan antar suku atau penduduknya, dsb. Sedangkan untuk riset yang berhubungan dengan administratif kerja harus tahu tempat-tempat yang dibutuhkan untuk mendukung tim kerja, misalnya jadwal buka POM Bensin, informasi tentang hotel, jarak dan waktu, transportasi, dsb. Tim periset juga harus bisa bekerjasama dengan kru-kru lokal yang mengerti persis keadaan lokasi, misal saat shooting di Aceh akan lebih baik merengkrut sopir yang tahu atau kenal dengan GAM sehingga memudahkan transportasi, dsb. Saat melakukan pembuatan film di daerah-daerah konflik, mutlak dibutuhkan regu pengaman, aparat desa, ketua agama. dll. Di daerah konflik juga dibutuhkan kemampuan berdiplomasi.

Riset tentang SDM dan hal-hal lain mutlak penting bahkan untuk hal-hal sekecil apapun sehingga tidak ada pertanyan-pertanyaan yang menghambat kelancaran pembuatan film.
Pembuat film harus tahu SDM yang terlibat secara personal. Ia juga mengetahui dan mengerti kelemahan dan kelebihan setiap anggota tim, bila perlu tes langsung. Hal yang harus diperhatikan juga pada riset SDM adalah watak tiap kru sehingga dapat saling melengkapi. Fokus dan pengembangan ide film akan lebih mudah apabila masalah-masalah teknis di sekitar lokasi shooting telah teratasi dengan baik.

Dari segi teknis kamera, riset yang baik bisa sekaligus memenuhi kebutuhan dalam pengambilan-pengambilan gambar. Periset yang baik juga harus memperhatikan bagaimana posisi atau penempatan kamera yang baik , semisal pembuat film menginginkan gambar yang dramatis di pagi hari. Posisi kamera sudah mengerti tempat atau angle yang baik untuk men-shoot matahari, bagaimana komposisi yang baik, dari segi suara dan sebagainya sehingga hasil gambar sesuai dengan yang diinginkan. Terkadang periset juga harus membuat peta wilayah tersebut sampai pada tingkat bagaimana curah hujan (kemungkinan longsor, misal), dan sebagainya.

Riset juga berhubungan dengan tema film. Riset tema film berhubungan dengan penguasaan pada wacana yang menyangkut disiplin ilmu dan kebutuhan mendiskripsikannya ke bentuk visual. Periset harus tahu alasan suatu wacana, dan dapat menuangkan ke dalam bentuk visual. Pendampingan kepustakaan dan ahli lokal juga penting dan harus dilakukan.

Seluruh point-point riset ini dikumpulkan dan dibuat point-point detail, dari jenis huruf, peta daerah, hingga pemotretan secara detail. Bila unsur-unsur periset terpenuhi, sutradara atau filmaker akan enak sekali dalam pembuatan film lebih lanjut. Segalanya bisa dilakukan dengan cepat, tepat dan pasti.

Metode riset yang akan digunakan berkaitan dengan pengembangan ide. Seringkali para pembuat film tidak tahu harus berangkat darimana saat akan menentukan tema film yang akan diangkat. Oleh karena itu dilakukan klasifikasi terhadap subyek, misal tentang Kalimantan. Kalimantan bisa dikategorikan menjadi hutan, sungai atau faktor-faktor sosial lainnya. Kemudian menentukan keterkaitan antara klasifikasi tersebut dengan kehidupan sosial, seni, dll yang diperinci lagi, misalnya jenis perahu yang digunakan, hewan-hewan yang ada di sekitarnya, dsb sehingga tema bisa berkembang dari temuan-temuan seperti itu.